Liputan6.com, Jakarta – Jangan jadikan perayaan Hari Bumi, yang jatuh setiap 22 April, sebagai selebrasi formalitas yang terasa jauh dengan keseharian. Pasalnya, setiap individu bisa berperan dalam menjaga lingkungan, dan tindakan itu sangat mungkin dimulai dari diri sendiri. Tidak FOMO beli produk kecantikan, misalnya.
Kreator konten Novia Arifin, yang aktif di media sosial dengan nama “ceritanupi,” mengatakan bahwa setelah fast fashion, sekarang ada fast beauty. Itu, menurut dia, ditandai dengan membludaknya sampah produk perawatan, termasuk kemasan pascakonsumsinya.
“Ada pola pikir yang harus diubah,” katanya di acara “Beauty Networking: Nurturing Earth, Glowing Future” yang diinisiasi Waste4Change da ERHA di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa, 30 April 2024. “Buat apa cantik kalau kita punah (karena Bumi sudah terlalu rusak?)?”
Maka itu, ia menambahkan, penting untuk berkesadaran dalam memakai produk kecantikan. Mengurangi beban lingkungan, Novia menyarankan untuk selalu memakai produk kecantikan sampai habis. “Setop membeli barang yang masih ada di meja rias,” ia menyambung.
“Penting untuk tahu kebutuhan kulit, jangan asal beli,FOMO, nanti tidak cocok akhirnya jadi sampah,” sambungnya. Dokter spesialis Dermatologi dan Venereologi ERHA Theresia Movita Sp.DVE, FINDSDV, FAADV mengamini ungkapan itu.
Di kesempatan yang sama, ia berkata, “Penting untuk memakai skincare sesuai kebutuhan.” Tantangannya untuk pelanggan masa kini, mereka telah terekspos begitu banyak produk kecantikan. “Semua (produk kecantikan) di media sosial terlihat bagus, makanya orang tertarik mendoba,” tuturnya.
Dokter Theresia menggarisbawahi bahwa ada bahan produk kecantikan yang cocok di orang lain, tapi ternyata tidak berdampak yang sama ketika dipakai diri sendiri. “Kalau tidak cocok memang tidak bisa dipaksa terus dipakai sampai habis. Makanya sebelum ini, harus tahu mana produk yang cocok dengan kulit kita. Jangan asal coba,” imbaunya.
Asal coba produk skincare akhirnya tidak hanya berdampak pada kulit si pemakai, namun juga lingkungan. Di samping menambah beban produksi dan jadi sampah kemasan, beberapa bahan produk kecantikan berisiko jadi pencemar lingkungan. “Microbeads, misalnya, yang tidak akan cepat terurai di lingkungan,” ia mencontohkan.
Terkait ini, ia mengimbau setiap pecinta produk kecantikan untuk membaca daftar bahan secara menyeluruh. “Bisa juga cek di laman BPOM untuk tahu ini berizin atau enggak, pakai bahan apa saja, aman enggak untuk kulit dan lingkungan, karena produksi produk kecantikan tidak bisa sembarangan,” ujar dia.
Head of CSR & Corporate Relations Arya Noble Group OemarSaputra mengatakan, pihaknya menjaga agar kemasan pascakonsumsi, terutama produk kecantikan ERHA, tidak berujung di tempat penampungan akhir (TPA). Karena itu, mereka bekerja sama dengan Waste4Change dalam pengelolaan kemasan pascakonumsi.
“Kami juga mendorong konsumen berperan dengan meminta mereka mengembalikan kemasan produk kosong ke klinik atau waste station di Mall Kota Kasablanka,” ujarnya. “Pengembalian itu membuat mereka berkesempataan memenangkan voucer yang banyaknya tergantung dari jumlah sampah kemasan yang dikembalikan.”
Makin banyak kemasan pascakonsumsi yang dikembalikan, ia menyambung, voucer yang diterima juga akan makin banyak. Sejak tahun lalu sampai awal tahun ini, ERHA telah berhasil mengumpulkan 8421,18 kg sampah kemasan kecantikan, dengan rincian 4711.99 kg sepanjang 2023, dan 3709.19 kg di bulan-bulan pertama tahun ini.
Dari jumlah itu, 99,49 persen sampah pascakonsumsi berhasil terdaur ulang. “Kami setiap bulan terima laporan dari Waste4Change, sampah kemasan yang berhasil dikumpulkan itu jadi apa saja. Upaya ini juga kami lakukan di daerah yang belum terjangkau Waste4Change dengan bekerja sama dengan komunitas lokal,” bebernya.
Oemar mengakui, biaya yang dikeluarkan untuk manajemen sampah kemasan memang tidak sedikit. “Tapi, itu komitmen kami untuk menerapkan bisnis berkelanjutan. Kesadaran pelanggan (untuk mengembalikan kemasan produk pascakonumsi) juga tinggi banget, dan sebenarnya secara bisnis, itu bisa bikin konsumen kembali ke klinik,” kata dia.
Tahun ini, Oemar menyebut pihaknya akan menambah jumlah klinik yang berpartisipasi sebagai waste station. Ini selaras dengan ERHA yang menargetkan daur ulang 10 persen produk pascakonsumsi dari total jumlah produksi mereka.
Dijelaskan bahwa dalam setahun, mereka bisa memproduksi 20 juta produk secara grup. “Kami targetkan dua juta produk bisa dipastikan tidak berujung ke TPA,” sebut dia. “Maka itu, kami mengajak seluruh pelanggan berpartisipasi mengembalikan produk kemasan bekas pakai ke seluruh klinik ERHA.”
Di upaya lain, Oemar mengatakan, “sudah sangat mungkin” menerapkan kemasan isi ulang. “Regulasinya sudah ada,” sebut dia. “Secara proses bisnis masih digodok, supaya kemasan isi ulangnya tahan lama dan memastikan tidak ada yang berubah secara efikasi produk.”
Corporate Strategic Waste4Change Hana Nur Auliana menyoroti pentingnya kolaborasi dan dukungan dalam memastikan sampah produk kecantikan tidak berujung ke TPA dan jadi beban lingkungan. “Sebenarnya sampah kemasan produk kecantikan yang tidak terolah juga menimbulkan risiko munculnya produk-produk palsu,” sebut dia.
Konteksnya, bisa saja ada oknum yang meniru bahan-bahan yang tertera di kemasan untuk dibuat jadi produk kecantikan mereka. Selain, sampah kemasan bisa “dipakai lagi,” namun diisi produk yang bahan-bahannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan akhirnya berbahaya untuk pelanggan.